Jumat, 30 Juni 2017

Essay on Poverty : Orang Miskin Tidak Malas

Jolosutro, Blitar Selatan (sumber ; Koleksi Pribadi)
Ada stigma umum yang mengatakan bahwa orang menjadi miskin karena malas. Bahkan seorang rekan mahasiswa mengamini hal tersebut. Ia berpendapat bahwa orang miskin disebabkan oleh kemalasannya dalam bekerja, dalam mencari pekerjaan, dan mencari alternatif penghasilan. Sebaliknya, stigma umum juga mengatakan bahwa orang rajin tentu akan kaya. Miskin dan kaya adalah masalah mentalitas. Mentalitas orang miskin akan mengkritik kesenjangan sosial dan minimnya kesempatan, sementara mentalitas orang kaya akan berjuang.

                Pertama – tama saya harus menyatakan bahwa saya sangat menentang pemikiran tersebut. Pemikiran yang sangat minim pengetahuan lapangan tentang luka duka kemiskinan. Saya sangat yakin bahwa orang dengan pemikiran tersebut, tidak pernah melakukan kontemplasi dan studi terhadap kenyataan kemiskinan secara indepth. Bahayanya lagi, jika stigma umum ini berkembang dan tidak dibantah, maka akan mempengaruhi perlakuan kita terhadap orang – orang miskin
.
                Seorang bapak di Surabaya, harus bekerja menarik becak dari pagi hingga sore. Malamnya, ia beralih profesi sebagai pemulung, menggunakan becaknya sebagai gerobak. Seorang kakek berusia 70 tahun, bekerja sebagai pemungut kembang, sambil memulung di malam hari, serta membuka servis jam, sementara istrinya memanfaatkan rumah reot mereka sebagai warung makan. Orang – orang ini bekerja dengan jam kerja yang tinggi, namun dengan penghasilan yang cukup untuk sekedar menyambung hidupnya, kadang kurang untuk keluarga dan anak – anak. Orang – orang ini tidak paham dengan konsep ketimpangan, GINI index, atau segala macam tetek bengek tentang kritik mengkritik kebijakan dan ketidakadilan sosial. Perjuangan hidup mereka tidak kalah keras dengan perjuangan seorang eksekutif dalam mencapai posisi CEO di perusahaan multinasional.

                Orang miskin tidak malas. Mereka giat, tekun, serta konsisten. Mereka mengerahkan semua kemampuan yang dimiliki untuk mencari alterntif penghasilan, terutama pada sektor informal. Sementara sektor formal tidak dapat mempekerjakan mereka, karena skill dan latarbelakang pendidikan menjadi kendala. Jika sehari saja mereka bermalas – malasan, tentu fatal bagi hidupnya.

        Fenomena ini adalah permasalahan yang pelik. Sebuah ketidak adilan, ketika sama besarnya tenaga dan usaha yang dikeluarkan si miskin dan si kaya, namun hasilnya jauh berbeda. Parahnya, di negara ini, hal ini terjadi secara besar – besaran. Pada Tahun 2014, 36.4%  penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan internasional $ 3.10 per hari. Angka ini cenderung membaik dibandingkan 5 tahun sebelumnya, yaitu 52.7% . Mengejutkan bahwa pada tahun 2009, setengah penduduk Indonesia tergolong miskin menurut standar dunia. Walaupun ada tren yang membaik, pemerintah sendiri menyadarai bahwa terjadi peningkatan disparitas kekayaan yang semakin tajam secara regional antar desa dan kota, maupun secara kolektif. Gini index Indonesia meningkat dari 0.32 tahun 1999, menjadi 0.41 tahun 2012.

            Lantas, jika bukan sebab mentalitas, kemalasan, atau faktor individual? Apa sebab munculnya kemiskinan? Daron Acemoglu dan James Robinson dalam buku berjudul Why Nations Fail, menjabarkan secara tuntas alasan yang menyebabkan negara gagal mensejahterakan rakyatnya. Ia memberikan perbandingan secara kolektif antara negara – negara yang sejahtera, dengan negara – negara prasejahtera. Permasalahannya bukan dari faktor geografis, kultur budaya, namun peran penguasa dalam memberikan kebijakan yang inklusif.

            Ia mencontohkan kasus Arab Spring yang diawali oleh Revolusi Jasmine tahun 2011, memicu perubahan masif di Timur Tengah, khususnya Tunisia dan Mesir. Ini disebabkan oleh lembaga dan institusi yang tidak inklusif dalam penyelenggaraan pemerintah, sehingga menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang berdampak pada resesi ekonomi. Penjelasan Acemoglu dalam bukunya pada bagian pendahuluan adalah sebagai berikut,

“…….Maka pada dasarnya, hal – hal yang menahan perkembangan penduduk negara – negara ini adalah korupsi dan penyelenggaraan negara yang tidak efisien, sehingga masyarakat tidak dapat mengaktualisasikan kemampuan, ambisi, kepintarannya.”
“….. Buku ini berargumen bahwa interpretasi terhadap kemiskinan Mesir, sesuai dengan interpretasi masyarakat, merupakan penjelasan yang universal terhadap fenomena kemiskinan suatu negara, baik itu di Korea Utara, Sierra Leone, atau Zimbabwe, maupun Mesir. Sementara negara – negara kaya seperti Inggris dan Amerika, mencapai kemakmuran karena mereka telah menggulingkan pemerintah yang mengontrol kekuasaan, sehingga hak – hak politik dan kesempatan ekonomi bisa terdistribusi lebih luas.”

     Seorang supir taksi konvensional di Jakarta, mengatakan pada saya bahwa ia mampu menghasilkan pendapatan bersih sebesar Rp 3 juta dengan bekerja 12 jam sehari, selama 15 hari kerja dalam sebulan. Bahkan, jika sang supir telah bekerja selama kurun waktu tertentu, perusahaanya menyediakan fasilitas kredit rumah dan motor dengan uang muka yang sangat murah. Perusahaan mereka, dengan berbagai inovasi, mampu bersaing di dunia bisnis pengangkutan darat, shingga terjadi profit sharing yang menguntungkan antara perusahaan sebagai institusi penyelenggara dan supir taksi.

          Bandingkan dengan supir angkutan umum roda empat yang berada di kota – kota berkembang, Surabaya misalnya. Dibawah kebijakan, regulasi, dan aturan pemerintah setempat, mereka bekerja pagi hingga malam, dengan penghasilan yang semakin berkurang karena kalah bersaing dengan inovasi transportasi lainnya. Mereka terpaksa menaikkan tarif untuk menanggulangi sepinya konsumen. Pemerintah dan dinas setempat, sebagai institusi penyelenggara, belum melakukan inovasi yang optimal dalam mendobrak pasar sesuai dengan kebutuhan konsumennya. Alhasil, tidak tercapainya kesejahteraan masyarakat, baik konsumen, maupun para supir angkutan.

      Hal yang sama berlaku pada pemerintah Indonesia secara makro. Kemiskinan yang tinggi berakar pada masalah – masalah penyelenggaraan pelayanan publik di berbagai sektor, terutama pendidikan. Hal ini mengakibatkan rendahnya kemampuan dan intelektualitas masyarakat. Disisi lain, korupsi, kolusi, dan nepotisme didalam berbagai institusi baik swasta maupun pemerintah, menyebabkan kesempatan – kesempatan ekonomi tidak terdistribusi secara merata.

 Artinya, kemiskinan saat ini, adalah sebuah dampak dari rezim terdahulu yang tidak inklusif dalam menyelenggarakan pemerintah. Fenomena kemiskinan luput dari pandangan. Sementara rezim berikutnya, mulai memperbaiki dengan berbagai cara, dari konsep hit and run lewat BLT, hingga konsep pembangunan partisipatif seperti PNPM dan program dana desa. Tentunya, mengatasi kemiskinan memerlukan konsistensi dan inovasi dalam jangka panjang, namun perlu dipahami, penyelenggaraan institusi yang efisien, adil, dan inklusif adalah initial but not sufficient condition. Apapun program pengentasan kemiskinan, tanpa penyelenggaraan lembaga swasta dan pemerintah yang inklusif, tidak akan mencapai keberhasilan.

1 komentar:

Popular Posts