Jolosutro, Blitar Selatan (sumber ; Koleksi Pribadi) |
Pertama
– tama saya harus menyatakan bahwa saya sangat menentang pemikiran tersebut.
Pemikiran yang sangat minim pengetahuan lapangan tentang luka duka kemiskinan.
Saya sangat yakin bahwa orang dengan pemikiran tersebut, tidak pernah melakukan
kontemplasi dan studi terhadap kenyataan kemiskinan secara indepth. Bahayanya lagi, jika stigma umum ini berkembang dan tidak
dibantah, maka akan mempengaruhi perlakuan kita terhadap orang – orang miskin
.
Seorang
bapak di Surabaya, harus bekerja menarik becak dari pagi hingga sore. Malamnya,
ia beralih profesi sebagai pemulung, menggunakan becaknya sebagai gerobak.
Seorang kakek berusia 70 tahun, bekerja sebagai pemungut kembang, sambil
memulung di malam hari, serta membuka servis jam, sementara istrinya
memanfaatkan rumah reot mereka sebagai warung makan. Orang – orang ini bekerja
dengan jam kerja yang tinggi, namun dengan penghasilan yang cukup untuk sekedar
menyambung hidupnya, kadang kurang untuk keluarga dan anak – anak. Orang –
orang ini tidak paham dengan konsep ketimpangan, GINI index, atau segala macam
tetek bengek tentang kritik mengkritik kebijakan dan ketidakadilan sosial.
Perjuangan hidup mereka tidak kalah keras dengan perjuangan seorang eksekutif
dalam mencapai posisi CEO di perusahaan multinasional.
Orang
miskin tidak malas. Mereka giat, tekun, serta konsisten. Mereka mengerahkan
semua kemampuan yang dimiliki untuk mencari alterntif penghasilan, terutama
pada sektor informal. Sementara sektor formal tidak dapat mempekerjakan mereka,
karena skill dan latarbelakang
pendidikan menjadi kendala. Jika sehari saja mereka bermalas – malasan, tentu
fatal bagi hidupnya.
Fenomena
ini adalah permasalahan yang pelik. Sebuah ketidak adilan, ketika sama besarnya
tenaga dan usaha yang dikeluarkan si miskin dan si kaya, namun hasilnya jauh
berbeda. Parahnya, di negara ini, hal ini terjadi secara besar – besaran. Pada
Tahun 2014, 36.4% penduduk Indonesia
berada di bawah garis kemiskinan internasional $ 3.10 per hari. Angka ini
cenderung membaik dibandingkan 5 tahun sebelumnya, yaitu 52.7% . Mengejutkan
bahwa pada tahun 2009, setengah penduduk Indonesia tergolong miskin menurut
standar dunia. Walaupun ada tren yang membaik, pemerintah sendiri menyadarai
bahwa terjadi peningkatan disparitas kekayaan yang semakin tajam secara
regional antar desa dan kota, maupun secara kolektif. Gini index Indonesia
meningkat dari 0.32 tahun 1999, menjadi 0.41 tahun 2012.
Lantas,
jika bukan sebab mentalitas, kemalasan, atau faktor individual? Apa sebab
munculnya kemiskinan? Daron Acemoglu dan James Robinson dalam buku berjudul Why Nations Fail, menjabarkan secara
tuntas alasan yang menyebabkan negara gagal mensejahterakan rakyatnya. Ia
memberikan perbandingan secara kolektif antara negara – negara yang sejahtera,
dengan negara – negara prasejahtera. Permasalahannya bukan dari faktor
geografis, kultur budaya, namun peran penguasa dalam memberikan kebijakan yang
inklusif.
Ia
mencontohkan kasus Arab Spring yang diawali oleh Revolusi Jasmine tahun 2011,
memicu perubahan masif di Timur Tengah, khususnya Tunisia dan Mesir. Ini
disebabkan oleh lembaga dan institusi yang tidak inklusif dalam penyelenggaraan
pemerintah, sehingga menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang
berdampak pada resesi ekonomi. Penjelasan Acemoglu dalam bukunya pada bagian
pendahuluan adalah sebagai berikut,
“…….Maka pada
dasarnya, hal – hal yang menahan perkembangan penduduk negara – negara ini
adalah korupsi dan penyelenggaraan negara yang tidak efisien, sehingga
masyarakat tidak dapat mengaktualisasikan kemampuan, ambisi, kepintarannya.”
“….. Buku ini berargumen bahwa interpretasi terhadap kemiskinan Mesir,
sesuai dengan interpretasi masyarakat, merupakan penjelasan yang universal
terhadap fenomena kemiskinan suatu negara, baik itu di Korea Utara, Sierra
Leone, atau Zimbabwe, maupun Mesir. Sementara negara – negara kaya seperti
Inggris dan Amerika, mencapai kemakmuran karena mereka telah menggulingkan
pemerintah yang mengontrol kekuasaan, sehingga hak – hak politik dan kesempatan
ekonomi bisa terdistribusi lebih luas.”
Seorang
supir taksi konvensional di Jakarta, mengatakan pada saya bahwa ia mampu
menghasilkan pendapatan bersih sebesar Rp 3 juta dengan bekerja 12 jam sehari,
selama 15 hari kerja dalam sebulan. Bahkan, jika sang supir telah bekerja
selama kurun waktu tertentu, perusahaanya menyediakan fasilitas kredit rumah
dan motor dengan uang muka yang sangat murah. Perusahaan mereka, dengan
berbagai inovasi, mampu bersaing di dunia bisnis pengangkutan darat, shingga
terjadi profit sharing yang
menguntungkan antara perusahaan sebagai institusi penyelenggara dan supir
taksi.
Bandingkan
dengan supir angkutan umum roda empat yang berada di kota – kota berkembang,
Surabaya misalnya. Dibawah kebijakan, regulasi, dan aturan pemerintah setempat,
mereka bekerja pagi hingga malam, dengan penghasilan yang semakin berkurang
karena kalah bersaing dengan inovasi transportasi lainnya. Mereka terpaksa
menaikkan tarif untuk menanggulangi sepinya konsumen. Pemerintah dan dinas setempat,
sebagai institusi penyelenggara, belum melakukan inovasi yang optimal dalam
mendobrak pasar sesuai dengan kebutuhan konsumennya. Alhasil, tidak tercapainya
kesejahteraan masyarakat, baik konsumen, maupun para supir angkutan.
Hal
yang sama berlaku pada pemerintah Indonesia secara makro. Kemiskinan yang
tinggi berakar pada masalah – masalah penyelenggaraan pelayanan publik di
berbagai sektor, terutama pendidikan. Hal ini mengakibatkan rendahnya kemampuan
dan intelektualitas masyarakat. Disisi lain, korupsi, kolusi, dan nepotisme
didalam berbagai institusi baik swasta maupun pemerintah, menyebabkan
kesempatan – kesempatan ekonomi tidak terdistribusi secara merata.
Artinya, kemiskinan saat ini, adalah sebuah
dampak dari rezim terdahulu yang tidak inklusif dalam menyelenggarakan
pemerintah. Fenomena kemiskinan luput dari pandangan. Sementara rezim
berikutnya, mulai memperbaiki dengan berbagai cara, dari konsep hit and run lewat BLT, hingga konsep
pembangunan partisipatif seperti PNPM dan program dana desa. Tentunya,
mengatasi kemiskinan memerlukan konsistensi dan inovasi dalam jangka panjang,
namun perlu dipahami, penyelenggaraan institusi yang efisien, adil, dan
inklusif adalah initial but not
sufficient condition. Apapun program pengentasan kemiskinan, tanpa penyelenggaraan
lembaga swasta dan pemerintah yang inklusif, tidak akan mencapai keberhasilan.
Untuk info lainnya bisa di cek disini https://www.cekaja.com/info/daftar-hewan-yang-terancam-punah-di-indonesia
BalasHapus