Untuk dapat
mengatakan bahwa seseorang tergolong miskin, ada dua jenis indikator yang lazim
digunakan, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut
berarti seseorang dikatakan miskin berdasarkan standar ukuran tertentu yang
paten diseluruh bumi. Misal, menurut world bank, seseorang dikatakan miskin
apabila hidup dibawah 2USD/hari, dan miskin parah apabila hidup dibawah 1,25
USD/hari.
Sedangkan
kemiskinan relatif, adalah pengukuran kemiskinan berdasarkan standar kehidupan seseorang,
dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya. Sebab itu, pengukuran kemiskinan
relatif umumnya memiliki standar dan indikator yang berbeda di tiap negara.
Contohnya, menurut Sajogyo, seseorang disebut miskin di Indonesia apabila
mengkonsumsi beras kurang dari 420kg/tahun untuk kota, dan 320kg/tahun untuk
pedesaan. Ketentuan ini belum tentu sama dengan Singapura, Jerman, dan India.
Di Indonesia,
angka kemiskinan menurut BPS menurun tiap tahunnya. Terlepas dari metode
pengukuran yang sahih atau tidak di lapangan, saya bukan ahli dalam statistik.
Namun dari pengalaman yang saya temui, BPS memiliki keakuratan data yang lemah.
Pada satu kesempatan di salah satu kabupaten di Jawa Timur, BPS menunjukkan
angka 0 pada kategori penduduk yang buta huruf di sebuah kecamatan yang
terletak di kabupaten tersebut. Namun ketika saya berkesempatan untuk melakukan
kegiatan bersama masyarakat desa yang bersangkutan, hampir setengah penduduk
usia dewasa di desa tersebut tidak bisa baca tulis. Sejak saat itu saya
meragukan keakuratan data BPS.
Tahun 2012, menurut
BPS hanya ada 29 juta penduduk miskin di Indonesia menurut standar nasional.
Sedangkan world bank menunjukkan ada
104juta penduduk miskin di Indonesia di tahun yang sama, artinya hampir setengah
penduduk di Indonesia tergolong miskin. Lantas mana yang lebih realistis?
Sumber ; bps.go.id
Jika kita melihat benchmarknya, BPS menggunakan batas garis kemiskinan sebesar RP 308.826 per bulan. Untuk mendapatkan angka perkapita per hari, maka Rp 308.826/30 = Rp 10.294 garis kemiskinan untuk kota. Sedangkan Garis kemiskinan per hari di desa adalah Rp 275.779/30 = Rp 9.126. Angka ini adalah batas kemiskinan relatif, atau Poverty headcount ratio national. Kesimpulannya, menurut BPS seseorang tergolong miskin jika hidup dibawah 10ribu rupiah per hari di kota, dan 9ribu rupiah per hari di desa.
Sedangkan data worldbank menggunakan indikator kemiskinan internasional yaitu 3,10 USD per hari. Atau sekitar 28ribu rupiah/hari. Sedangkan extreme poverty adalah 1,9USD setara dengan 17ribu rupiah/hari. Ini adalah indikator kemiskinan absolut yang batas kemiskinannya sama di seluruh negara. Batas kemiskinan menurut worldbank sebesar 28ribu/hari lebih masuk akal bagi saya, ketimbang batas kemiskinan BPS sebesar 10rb/hari.
Maka, faktanya tahun 2012 ada sekitar 104 juta penduduk miskin di Indonesia yang hidup dibawah 28ribu rupiah dalam sehari. Angka ini apabila dibayangkan secara realistis, tentu masuk akal.
Katakanlah seorang pekerja pabrik dengan UMR 2,5 juta/bulan, dan istri dengan penghasilan 600 ribu/ bulan sebagai tukang cuci. Mereka ikut program KB dan punya 2 orang anak. Sehingga total penghasilan rumah tangga sebesar Rp 3,1 juta/bulan. Ada 4 orang anggota keluarga, sehingga masing - masing dihitung sebesar Rp 775 ribu/bulan. Untuk mendapat angka per hari, Rp775.000/30 = Rp25.833 per hari. Angka ini berada dibawah garis kemiskinan, tak heran hampir setengah penduduk Indonesia tergolong miskin menurut world bank.
Saya rasa, untuk seorang yang hidup merantau sendirian, 25 ribu per hari adalah jumlah yang sangat minimum dan subsisten untuk bertahan hidup. Untuk makan sehari 2x, tanpa tempat tinggal dan pakaian yang melekat di baju. Lalu bagaimana denga data BPS yang menyebutkan batas 10ribu/hari untuk kota? Saya rasa saya akan mati dalam 2 minggu.
Ini menjadi sebab, mengapa penanggulangan kemiskinan tidak menjadi fokus utama pemerintah. Data yang digunakan menghasilkan angka yang terlalu kecil dan tidak realistis. Masyarakat di berbagai lini tidak menyadari betapa kronisnya masalah kemiskinan di Indonesia.
Kebijakan yang tidak efisien dan efektif umumnya disebabkan karena analisis masalah yang kurang baik. Jangankan analisis masalah, proses pengumpulan data yang realistis saja belum dapat kita capai. Ditambah lagi, orientasi perekonomian Indonesia yang mengejar pertumbuhan tinggi, dengan harapan pertumbuhan ekonomi tersebut dapat mengurangi angka kemiskinan. Pemikiran ini adalah metode pembangunan ekonomi yang sudah usang, dikenal dengan The Capital Growth Theory. Dipakai oleh negara - negara barat pada tahun 1950 - 1970an, dampaknya adalah peningkatan disparitas atau ketimpangan ekonomi. Terbukti pertumbuhan ekonomi tinggi dibarengi dengan koefisien gini indeks yang terus mengalami peningkatan di Indonesia, China, serta India.
Sekali lagi, proses pengambilan kebijakan terhadap kemiskinan perlu diawali dengan analisis masalah, dan analisis memerlukan data. Data yang tidak realistis dan objektif, akan memberikan analisis yang bias. Kemudian analisis yang bias akan menyebabkan pengambilan kebijakan yang tidak sesuai dengan realita. Sepertinya penanggulangan kemiskinan di Indonesia belum terasa maksimal, mengutip Prof. Sri Edi Swasono, "Pembangunan di Indonesia bukan menggusur kemiskinan, tapi menggusur orang miskin."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar