Untuk dapat
menilai suatu fenomena secara objektif, kita perlu memiliki pandangan yang komprehensif
dari hulu ke hilir. Dalam konteks kredit pendidikan (student loan), maka kita perlu melihat hal ini secara utuh, dari
mulai hal yang melatar belakangi, mekanisme, hingga kepada potensi dan
kelemahan. Sebelum melangkah jauh, kita perlu memahami bahwa kredit atau utang dalam
skema kredit pendidikan ini, bukan sekedar utang seperti halnya utang rokok yang
dilakukan bapak-bapak tongkrongan di warung, atau utang minyak goreng ibu-ibu
rumahtangga pada kios langgananya di pasar.
Utang dalam
konteks kredit pendidikan dapat dikatakan sebagai utang yang dialokasikan untuk
investasi. Seperti halnya pengusaha properti yang mengajukan kredit pada perbankan
untuk membangun apartemen. Utang ini digunakan sebagai tambahan modal dalam
rangka memperoleh manfaat yang lebih besar dikemudian hari. Namun tentu saja,
perlu ada perhitungan yang matang agar utang yang diajukan tidak menjadi beban yang
sia-sia.
Student Loan di Indoneisa, Mengapa
dan Untuk Apa?
Dalam mengukur
pembangunan manusia di sebuah negara, angka partisipasi kasar menjadi salah
satu tolak ukur yang dapat digunakan dalam aspek pendidikan. Gross Tertiary enrollment rate atau Angka Partisipasi Kasar (APK)
Perguruan Tinggi adalah indikator yang mengukur tingkat partisipasi penduduk
yang berkuliah dalam kelompok umur kuliah. BPS mengklasifikasikan APK perguruan
tinggi sebagai persentase jumlah siswa di seluruh perguruan tinggi/sederajat
terhadap jumlah penduduk usia 19-24 tahun.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang memiliki
APK perguruan tinggi yang cukup memprihatinkan dibandingkan negara-negara
tetangganya yakni sebesar 23,30%. Dapat
dikatakan, dari 10 orang berusia 19-24 tahun di Indonesia, hanya 2 urang yang masuk
ke perguruan tinggi. Angka ini berada jauh dibawah rata-rata Asia Timur dan
Asia Tenggara (bahkan setelah mengeluarkan negara maju dari perhitungan
rata-rata) sebesar 38,78%. APK Perguruan tinggi Indonesia masih berada di bawah
Vietnam (28,79%), Brunei (30,84%), Filipina (36,69%), Malaysia (42,37%), dan
Thailand (45,89%).
Sumber: data.worldbank (2018), diolah penulis
Skema
kredit pendidikan atau student loan
ini dapat menjadi salah satu program yang mendorong APK perguruan tinggi di
Indonesia, seperti halnya beasiswa bidikmisi, beasiswa prestasi, dan lain
sebagainya. Seperti yang kita ketahui pula bahwa beasiswa memiliki kuota dan
sumber pembiayaan yang terbatas, sementara jumlah usia produktif di Indonesia relatif
besar. Maka kredit pendidikan bisa menjadi alternatif bagi masyarakat yang
ingin mengenyam perkuliahan dengan keterbatasan dana serta tidak berhasil
mendapatkan program beasiswa. Dengan kata lain, kredit pendidikan berpotensi
menjadi fasilitas yang memperluas akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi.
Skema Perkreditan Student
Loan dengan Bunga dan Tanpa Bunga, Untung atau Buntung?
Sumber: diolah penulis dari berbagai Sumber; (1) Skema BTN dan BRI dari Tirto.id (18 April 2018, “Kredit Pendidikan Bank BUMN: Syarat dan Ketentuan Berlaku”), (2) Skema mandiri UGM dari tribunnews.com (18 April 2018, Gandeng Ugm, “Bank Mandiri Kembangkan Kredit Pendidikan”
Sumber: diolah penulis dari berbagai Sumber; (1) Skema BTN dan BRI dari Tirto.id (18 April 2018, “Kredit Pendidikan Bank BUMN: Syarat dan Ketentuan Berlaku”), (2) Skema mandiri UGM dari tribunnews.com (18 April 2018, Gandeng Ugm, “Bank Mandiri Kembangkan Kredit Pendidikan”
Catatan: skenario 7-9 dengan total pinjaman sebesar 67,5 Juta rupiah adalah
rata-rata jumlah pinjaman yang umum di Amerika berdasarkan Working Paper Economic Studies at Brookings oleh Susan Dynarski
berjudul An Economist’s Perspective on
Student Loans in the United States, (September 2014).
Dalam
perhitungan yang telah dilakukan penulis, skenario 1-6 merupakan skema kredit
pendidikan yang telah diterbitkan oleh beberapa perbankan. Jika dilihat dari
cicilan bulanan yang merupakan hasil perhitungan kasar berdasarkan informasi
nilai pinjaman, bunga, dan tenor, maka dapat dilihat bahwa cicilan yang perlu dibayarkan
perbulan cukup tinggi untuk seorang mahasiswa yang baru lulus kuliah dan
bekerja dengan penghasilan UMR. Tentunya hal ini disebabkan oleh adanya bunga
yang cukup signifikan. Tidak ada yang salah, sebab skema ini diberikan oleh
perbankan yang merupakan institusi yang berorientasi pada profit. Dengan kata lain, kredit pendidikan yang dikeluarkan oleh
perbankan tidak bertujuan untuk bantuan sosial.
Dilihat
dari besaran cicilan bulanan, sasaran kreditur yang ideal mengambil kredit
pendidikan yang disediakan perbankan tersebut adalah kalangan menengah ke atas yang
membutuhkan dana besar dalam waktu yang relatif singkat untuk membiayai
pendidikan.Selain itu, skenario ini juga tidak ideal dibayarkan oleh mahasiswa
itu sendiri setelah lulus kuliah atau bekerja, mengingat besarnya cicilan bulanan
dari kredit tersebut. Maka skema kredit pendidikan oleh perbankan ini ditujukan
untuk orangtua mahasiswa yang notabene telah memiliki penghasilan. Sekali lagi,
tidak ada yang salah dengan hal ini, terlebih hal yang menyalahi undang-undang.
Beberapa
mahasiswa yang tidak sepakat dengan kredit pendidikan, akan merujuk Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada pasal 76 ayat (1) disebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak asasi Manusia yang kurang
mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan
akademik. Kemduian yang menjadi sorotan publik adalah pasal (2) poin c yang menyebutkan salah satu pemenuhan hak mahasiswa
adalah dengan cara memberikan pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi
setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan. Perlu diingat, dalam UU
tersebut, yang wajib memberikan pinjaman tanpa bunga adalah Pemerintah, Pemda,
atau Perguruan Tinggi. Sementara skenario 1-6 pada tabel merupakan kredit
pendidikan yang diselenggarakan oleh perbankan. Sehingga tidak ada yang salah
dengan perbankan yang memberikan bunga pada kredit pendidikan.
Di Amerika
sendiri, terdapat kredit pendidikan yang non-subsidi (dengan bunga) serta tersubsidi
(tanpa bunga). Kredit tanpa bunga di Amerika dapat dilihat perhitungannya pada
skenario 7-9. Untuk skenario 7 dengan tenor 5 tahun dapat diambil dengan
cicilan sebesar Rp1.125.000 per bulan. Skenario 8 dengan tenor 10 tahun dapat
diambil dengan cicilan sebesar Rp560.000 per bulan. Sementara pada skenario 9, diberlakukan
kebijakan yaitu pembayaran tenor bulanan sebesar 10% dari gaji yang diperoleh.
Jika diasumsikan gaji yang diperoleh sebesar Rp3.500.000, maka denga cicilan Rp350000
perbulan akan menghasilkan tenor selama 16 tahun lebih. Tentunya akan ada peningkatan
penghasilan sehingga tenor dapat lebih cepat.
Untuk skenario
10 dan 11 adalah skenario kredit pendidikan tersubsidi di Indonesia dengan
pinjaman diasumsikan sebesar Rp50.000.000. Dengan tenor 10 tahun dapat diambil
dengan angsuran Rp416.000, sementara tenor 5 tahun diambil dengan angsuran Rp833.000.
Dari besarnya cicilan, dapat dilihat bahwa skema kredit pendidikan tersubsidi
ini ideal untuk ditargetkan kepada mahasiswa. Dengan penghasilan UMR setelah
lulus bekerja, cicilan bulanan terbilang ideal bagi peminjam yang telah memiliki
penghasilan sebesar Rp 3,5 juta saat lulus kuliah. Namun tentu saja, skenario
ini belum terdapat dan belum dilaksanakan oleh pemerintah Indoensia.
Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional
Semester 2 (BPS, 2016)
SAKERNAS
(Survei Angkatan Kerja Nasional) semester 2 tahun 2016 menunjukkan rata-rata
upah sesuai pendidikan terakhir seperti pada grafik diatas. Terdapat selisih
antara upah SMA dengan diploma sebesar Rp800.000 dan SMA dengan sarjana sebesar
Rp2.200.000. Jika selisih ini dikurangi dengan cicilan kredit pendidikan
tersubsidi pada skema 10 dan 11 yaitu sebesar Rp416.000 dan Rp833.000, tentunya
para lulusan diploma atau sarjana masih memiliki sisa uang yang lebih ketimbang
upah yang didapat jika hanya memiliki tingkat pendidikan sampai SMA.
Kredit Pendidikan Bersubsidi
oleh Pemerintah Sebagai Pemberdayaan
Subsidi merupakan
bentuk dari empowerment atau
pemberdayaan. Subsidi yang tepat sasaran mampu memberdayakan golongan masyarakat
tertentu dalam memperluas akses terhadap suatu hal (dalam hal ini pendidikan)
agar dikemudian hari masyarakat tersebut dapat mencapai keadaan yang lebih baik
dan berdikari. Kredit pendidikan bersubsidi tanpa bunga tentu akan sangat ideal
dilakukan dalam mendorong angka partisipasi Perguruan Tinggi, serta sebagai
investasi dalam pendidikan masyarakat, terutama masyarakat golongan menengah ke
bawah yang tidak mampu meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi karena keterbatasan
finansial dan keterbatasan prestasi.
Kredit
pendidikan bersubsidi dapat disandingkan dengan program beasiswa bidikmisi.
Adapun biaya program kredit pendidikan bersubsidi cenderung akan lebih kecil mengingat
angsuran yang akan dibayarkan dikemudian hari oleh mahasiswa. Biaya yang muncul
bagi pemerintah adalah dari besaran valuasi uang yang hilang (nilai uang
terhadap waktu akibat tidak adanya bunga). Selain itu, pemerintah juga harus
memiliki kalkulasi kelaykan kredit yang baik. Pemerintah harus menargetkan
kredit tersebut secara tepat untuk menghindari terjadinya default atau gagal bayar yang terakumulasi dan berdampak buruk pada
keuangan negara.